Rekam24.com, Bogor— Dugaan praktik pungutan liar (pungli) terhadap ratusan sopir angkot di jalur Cisarua 02A, Kabupaten Bogor, terungkap setelah Ketua Kelompok Kerja Sub Unit (KKSU), Nandar, mengakui adanya pengumpulan “uang koordinasi” dengan nilai mencapai Rp11,2 juta.
Pengakuan tersebut disampaikan dalam dialog terbuka bersama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang diunggah di kanal YouTube resminya pada 9 April 2025.
Dalam pernyataannya, Nandar menyebut bahwa permintaan pengumpulan uang berasal dari Sekretaris DPC Organda Bogor, Haryadi, yang menugaskannya untuk mendata dan mengoordinasi sopir angkot penerima insentif dari Bank Jabar Peduli dan Baznas. Syarat penerimaan insentif adalah para sopir tidak beroperasi selama masa Lebaran dan satu minggu sesudahnya.
Namun, proses pendataan itu disertai permintaan dana koordinasi sebesar Rp200 ribu per sopir. Dana tersebut, menurut Nandar, dikumpulkan oleh timnya yang terdiri dari lima orang dan salah satu rekan sopir bernama Emen.
“Dari total Rp11.200.000 yang terkumpul, Rp4 juta berasal dari Pak Emen, sisanya dikumpulkan oleh tim saya,” jelas Nandar.
Dana itu kemudian dibagikan secara internal, termasuk ke Sekretaris Organda dan Kepala Satgas Organda, meskipun tidak ada bukti bahwa Ketua Organda turut menerima bagian.
Gubernur Dedi Mulyadi menegaskan bahwa insentif yang diberikan pemerintah provinsi tidak boleh dijadikan ajang pungli, apalagi dilakukan dengan mengatasnamakan koordinasi. Ia juga menekankan pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan kebijakan publik.
“Ini seharusnya meringankan para sopir, bukan malah dipungut,” kata Dedi.
Ia menambahkan bahwa kasus ini akan ditindaklanjuti oleh kepolisian dan meminta semua pihak untuk memberikan keterangan sejujurnya.
Meskipun Nandar menyatakan dana sudah dikembalikan, Gubernur menyoroti bahwa sebagian uang sudah sempat dibagi dan digunakan oleh oknum KKSU yang juga sopir angkot dan tidak menerima insentif resmi.
Kasus ini menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang oleh oknum dalam organisasi transportasi lokal dan memunculkan kembali urgensi transparansi dalam pendistribusian bantuan sosial kepada masyarakat bawah.