REKAMAN24.COM, DKI JAKARTA – Indonesia telah meratifikasi persetujuan paris (paris agreement) tahun 2016 melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris, persetujuan Paris atas konvensi kerangka kerja perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mengenai perubahan iklim.
Tidak hanya itu, serta menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDC) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Kepala Sub Kelompok Kerja Perencanaan Rehabilitasi Mangrove BRGM, Mayasih Wigati mengatakan target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi hingga 29 persen dengan upaya sendiri menjadi 41 persen.
Jika ada kerja sama internasional pada tahun 2030 target 41 persen akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian.
“Tahun 2022, Indonesia menyampaikan penambahan target NDC (Enhanced NDC) kepada UNFCC sebesar 31,89 persen secara upaya sendiri dan menjadi 43,20 persen dengan kerja sama internasional,” kata Mayasih di DKI Jakarta.
Mayasih memaparkan ada lima sektor yang relevan untuk memberikan kontibusi emisi gas rumah kaca dan mampu diharapkan berkontribusi guna pencapaian target NDC tahun 2030 serta Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, yakni sebagai berikut :
1. Sektor Energi
2. Sektor Forest and Other Land Use (FOLU)
3. Sektor Pertanian
4. Sektor Limbah
5. Sektor industrial processes and production use (IPPU)
Lima sektor tersebut dinilai perlu melakukan sejumlah upaya mitigasi dan adaptasi dalam penurunan emisi GRK.
Kurun waktu 22 tahun (KLHK, 2023), menunjukkan Emisi GRK Nasional Tahun 2000 – 2022 dari sektor energi menduduki peringkat pertama.
Selanjutnya dengan data kehutanan dan kebakaran gambut (peat fire) menunjukkan trend yang besar pada tahun 2015 terlihat data sektor kehutanan menunjukkan emisi yang terbesar karena adanya kebakaran hutan dan lahan gambut.
“Kemudian dalam pencapaian NDC, sektor Sektor Forest and Other Land Use (FOLU) diharapkan dapat menyumbang 60 persen dari target NDC,” jelasnya.
Mayasih menuturkan sejumlah kebijakan dan instrumen pendukung telah dipersiapkan dalam pencapaian NDC dan Net Zero Emission (NZE) tersebut dari Undang-Undang,m (UU), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri, Sektoral, dan Peraturan Menteri Keuangan.
Pemerintah juga mengambil langkah melalui Instruksi Presiden No 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2024 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 202-2045 menyatakan pelaksanaan jalur pembangunan yang lebih hijau melalui penerapan ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon merupakan arah pembangunan global di masa mendatang.
“Penurunan emisi ditargetkan sebesar 68 persen tahun 2045 dan pencapaian NZE pada tahun 2060,” tuturnya.
Tidak hanya itu, Mayasih menyampaikan ketika melaksanakan mitigasi dan adaptasi, pemerintah Indonesia telah menyiapkan dokumen strategi berupa Indonesia long term strategy for low carbon and climate resilience 2050 (Indonesia LTS-LCCR 2050) yang ditandatangani oleh presiden.
Lalu yang perlu menjadi perhatian dinilainya perihal bagaimana implementasi yang dilaksanakan lebih efektif dan efisien dalam pencapaian target.
Siapa saja dan bagaimana partisipasi stakeholder dalam pencapaian target tersebut, kemudian apakah upaya pencapaian NDC ini sudah dipahami masyarakat.
“Upaya mitigasi dan adaptasi tentunya bukan seperti membalikkan telapak tangan, banyak sektor pihak, keterlibatan pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, media, legislative, penegak hukum, dan juga dunia internasional akan memberi warna yang diharapkan,” lugasnya.
Mayasih menegaskan terkait merealisasikan kebijakan tersebut diperlukan aktor-aktor untuk mewujudkannya.
Aktor-aktor tersebut dapat berkolaborasi dalam kolaborasi pemerintahan (Collaborative Governance).
Manfaat kolaborasi pemerintahan adalah embantu pemerintah mengurangi biaya, dan meningkatkan penyediaan pelayanan, menghadirkan kesempatan untuk meningkatkan efisiensi dalam pelayanan.
Dilanjut menghadirkan kesempatan untuk pendekatan dari bawah, meningkatkan akuntabilitas kepada masyarakat untuk kualitas pelayanan dan jaminan penggunaan anggaran, hingga meningkatkan kesempatan untuk meningkatkan daya saing global (Benton, 2013).
Berpindahnya enegi fosil ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan seperti energi panas bumi, matahari, tekanan air, angin, gelombang air laut, serta bioenergy tidak mudah dan membutuhkan infrastruktur, teknologi, penyiapan SDM dan pembiayaan yag besar.
Terkini, Indonesia masih bergantung pada sumber daya batu bara dan menjadi andalan ekspor.
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk beralih ke energi lainnya karena biaya mahal, perlu pembiasaan, dukungan berbagai kebijakan, dan literasi.
Kolaborasi dengan pihak swasta mampu dilaksanakan untuk mewujudkan pemanfaatan energi yang ramah lingkungan dan berparisipasi mengembangkan energi ramah lingkungan.
Hal itu tentu dapat menjawab mengenai bagaimana implementasi pembangunan rendah karbon yang dilaksanakan lebih efektif dan efisien dalam pencapaian target.
Kebijakan dan instrument dalam mendukung implementasi pembangunan rendah karbon masih dipahami oleh stakeholder pemerintah pusat, daerah, LSM, dan akademisi.
Masyarakat umum dan dunia usaha masih perlu literasi dan sosialisasi tentang pembangunan rendah karbon.
Kolaborasi dan komunikasi yang intensif antara berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan proses transisi menuju pembangunan rendah karbon belum berjalan mulus.
“Kolaborasi penting dilakukan untuk mengantisipasi kegagalan implementasi kebijakan (Ansell dan Gash, 2008), karena masyarakat dan dunia usaha yang nantinya akan terlibat dan terdampak langsung dalam penerapan pembangunan rendah karbon,” rincinya.
Mayasih mengungkapkan kolaborasi Kementerian maupun Lembaga, pemerintah daerah, penegak hukum, LSM, akademisi, media, masyarakat, dunia usaha perlu dibumikan agar pencapaian target menjadi pencapaian bersama dan berkeadilan.
“Penguatan kelembagaan dan tata kelola pemerintahan, penguatan kebijakan, komunikasi aktif menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian,” pungkasnya.
Penulis : Mayasih Wigati, S.Sos., M.Si., M.Sc selaku Kepala Sub Kelompok Kerja Perencanaan Rehabilitasi Mangrove Badan Retorasi Gambut dan Mangrove (BRGM)
(Tercatat sebagai Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Kampus Jakarta)