Rekam24.com, Sukabumi – Kementerian Kehutanan melalui Ditjen Penegakan Hukum Kehutanan (Gakkumhut) membuktikan komitmennya dengan melanjutkan operasi gabungan penertiban tambang ilegal tahap ke-3 di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang kali ini menyasar Blok Gunung Peti dan Cibuluh – Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Di dalam operasi tersebut tim menemukan dan mengamankan 88 lubang Pertambangan Tanpa Izin (PETI), 81 tenda/gubug dan 5 buah genset/mesin. Kegiatan operasi gabungan dilakukan oleh 80 orang personil Ditjen Gakkumhut bersama dengan Balai TNGHS, TNI dan Polri.
Kegiatan operasi gabungan tersebut merupakan kelanjutan dari operasi yang telah dilakukan dari tanggal 29 Oktober-7 November di Kawasan TNGHS. Pada Operasi pertama tercatat tim gabungan telah menghancurkan/mengamankan 46 “tenda biru”, 11 lubang PETI, 17 unit mesin.
Baca Juga : 4K Jurus Jitu Pemkot Bogor Tekan Inflasi
Sedangkan pada operasi gabungan tahap dua di Blok Cibuluh, Blok Cibarengkok, Blok Cieyem, Blok Cibereng Dan Blok Cinangka Tim opsgab telah melakukan upaya: penghentian sekaligus penguasaan kembali hak-hak negara atas Kawasan Hutan, pembongkaran bangunan, dan penyegelan terhadap sarana serta peralatan yang digunakan PETI.
Sarana tersebut terdiri dari: bangunan tempat pengolahan hasil PETI sebanyak ± 723 unit, 130 lubang PETI, Tabung besi/ gelundung ± 20.000 unit, mesin-mesin ± 100 unit, 40 unit kincir penggerak gelundung dan bahan kimia B3 seperti merkuri dan sianida.
Direktur Penindakan Pidana Kehutanan, Rudi Saragih Napitu menjelaskan Tim Operasi Gabungan yang telah dibentuk oleh Kemenhut, akan terus melanjutkan operasi ini ke lokasi-lokasi PETI lain di dalam taman nasional.
Baca Juga : Flavors Festival Meriahkan Tahun Baru 2026 di The Sahira Hotel
“Kementerian Kehutanan akan menggandeng Pemerintah Daerah dan instansi terkait untuk menghentikan rantai bisnis tambang ilegal, mulai dari pasokan logistik, bahan bakar, pemusnahan instalasi listrik ilegal, sampai ke penampung hasil tambang ilegal dan beneficial ownership”, tegas Rudi.
Para pelaku illegal tersebut diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak kategori VI, diduga melanggar Pasal 89 jo pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan/atau Pasal 33 ayat (2) huruf b jo pasal 40B ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Kegiatan ini menjadi prioritas karena berdampak terhadap potensi gangguan ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan untuk seluruh makhluk hidup. Ancaman bencana ekologis seperti longsor dan banjir bandang serta ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Lokasi kegiatan illegal tersebut dilakukan di hulu – hulu sungai menggunakan media air sungai dan bahan kimia seperti merkuri dan sianida.
Limbah pengolahan hasil tersebut dibuang ke aliran sungai tersebut, yang mengalir ke bawah dan dimanfaatan oleh masyarakat.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menegaskan bahwa operasi ini merupakan arahan langsung Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
“Operasi penertiban PETI di TNGHS adalah tindak lanjut atas perintah dan penekanan Bapak Menteri agar kawasan konservasi benar-benar bersih dari aktivitas ilegal”.
“Kami bergerak terukur, tegas, dan berkelanjutan—bukan sekadar razia sesaat—untuk memulihkan fungsi ekosistem dan melindungi keselamatan warga, terutama di puncak musim hujan dan operasi tersebut akan dilanjutkan dengan rehabilitasi kawasan bekas tambang” ujar Dwi Januanto.
“Kami berterima kasih atas partisipasi para pihak dan juga publik yang telah melaporkan kejadian PETI di kawasan TNGHS melalui. Dukungan masyarakat adalah kunci pengawasan bersama untuk menjaga kelestarian hutan dan keselamatan warga, terutama pada musim hujan ini”, tutup Dwi Januanto.










