Rekam24, BOGOR – Pemerintah kota (Pemkot) Bogor, terus melakukan penataan tata ruang kota Bogor baik di wilayah maupun di pusat kota.
Tak hanya itu, pembenahan sistem transportasi dari mulai rerouting dan konversi angkutan kota hingga perbaikan infrastruktur penunjang pun sudah dilakukan.
Tahapan penataan tata ruang dan transportasi, diawali dengan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor yang disusun dan sudah disahkan menjadi Perda bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, seiring berjalannya program tersebut, terjadi dinamika antara DPRD Kota Bogor dan Pemkot Bogor, padahal Perda RTRW sudah disusun dan disahkan bersama-sama.
Seperti rencana penataan Plaza Bogor dan Pasar Bogor, yang akan dibongkar dan dibangun ulang sesuai tata ruang.
Namun upaya tersebut mendapat kritik dari DPRD.
Tak hanya itu, perencanaan moda transportasi massal berbasis rel, yang juga tertuang dalam Perda RTRW serta rencana induk transportasi Kota Bogor tahun 2014 pun mendapat sorotan dan kritik dari DPRD.
Dalam Rapat kerja dengan Dinas Perhubungan Kota Bogor Komisi III Bahas Wacana Trem di Kota Bogor pada Senin (5/2/2024).
Sekretaris Komisi III DPRD Kota Bogor, Bambang Dwi Wahyono menilai kehadiran trem di Kota Bogor tidak terlalu mendesak dan tidak berpedoman pada Perda nomor 8 tahun 2023 tentang Transportasi.
Bambang mengungkapkan dalam pembahasan Perda tentang Transportasi, Dishub Kota Bogor menyatakan bahwa klausul tentang kehadiran trem harus dipersiapkan secara matang dan berlandaskan dengan kajian yang mendalam.
“Saat pembahasan di Pansus Perda, Dishub mengaku belum siap, tapi kenapa tiba-tiba sekarang sudah ada pembahasan trayek dan kerjasama pengadaan barangnya. Ini kan tidak berpedoman kepada Perda yang sudah ditetapkan, disamping itu juga Perwali belum ada. Jadi apa sebenarnya motif dibalik trem ini,” tegas Bambang.
Bahkan di dalam rencana kerja Dishub yang sudah tertuang di dalam APBD 2024, Bambang tidak melihat satupun program yang menyebut soal pengadaan trem ataupun kajian tentang trem ini.
Sehingga, Bambang menilai pengadaan trem di Kota Bogor terlalu memaksakan dan menimbulkan problematik bahkan bisa menjadi beban bagi Kota Bogor kedepannya.
Bambang pun menilai kinerja Dishub Kota Bogor seperti tidak memiliki arah dan prioritas dalam mengatasi persoalan transportasi di Kota Bogor.
Mulai dari program reduksi angkot, rerouting, Biskita dan pemeliharaan sarana dan prasarana, semuanya tidak konsisten dijalankan oleh Dishub Kota Bogor.
“Kami tidak melihat prioritas program dan arah kebijakan yang serius dari Dishub dan Pemkot Bogor dalam mengatasi persoalan perhubungan. Jadi ini seperti kutu loncat, program yang satu belum selesai, sudah loncat lagi ke yang lain. Kami sangat menyayangkan hal tersebut,” ujar Bambang.
Bambang menegaskan, Komisi III DPRD Kota Bogor tidak menolak kehadiran trem di Kota Bogor.
Hanya saja, sangat disayangkan jika program yang sudah disusun dan sudah berjalan tidak diselesaikan hingga tuntas yang menyebabkan program-program yang sudah ada menjadi terbengkalai.
“Jadi intinya trem ini masih jauh api dari penggorengan. Buat apa fokus kesana, lebih baik selesaikan dulu program yang ada baru menyusun program yang baru,” tutupnya.
Padahal, jika berkaca pada Perda RTRW, dan Rencana induk transportasi Kota Bogor progres dan tahapan yang dilakukan oleh pemkot sudah sesuai.
Karena perencanaan Trem tidak bisa dimulai dalam satu atau dua tahun sehingga tahapannya harus terus dilakukan sehingga ketika akan dilakukan pembangunan semua perencanaan dan tahapannya sudah siap.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim menyampaikan konsep program penataan transportasi Bogor sudah ada sejak 2014.
“Hal ini menjadi acuan Pemkot, untuk menyiapkan implementasi secara bertahap, karena perencanaan perkotaan terdiri dari rencana jangka pendek, menengah dan panjang. Jangka pendek sudah dimulai dengan rerouting, reduksi dan konversi Angkot termasuk program BTS BisKita,” kata Dedie.
Kemudian lanjut Dedie, Munculnya Perpres 49/2017, Tentang Percepatan LRT Bodebek yang menyebut ujung stasiun di Baranangsiang.
“Jadi ii harus kita sikapi dengan perencanaan penataan transportasi sebaran lanjutannya secara cermat,” katanya.
Sehingga, Ia berpendapat bahwa rencana yang dilakukan Pemkot sudah sesuai.
“Karena bisa dibayangkan apabila LRT sampai ke Baranangsiang tanpa distribusi yang memadai,” ujarnya.
Melihat dinamika itu, Pengamat Kebijakan Publik Yusfitriadi mengatakan DPRD dan Pemkot bertanggung jawab atas berjalannya roda pemerintahan kota sehingga dibutuhkan sinergitas sesuai dengan tupoksi masing-masing lembaga tersebut.
“Karena, fungsi dan peran masing-masing lembaga tersebut sudah jelas diatur dalam undang-undang. Namun seringkali sinergitas tersebut tidak terjadi, sehingga tata kelola pemerintahan kota akan terhambat dan masyarakat yang dirugikan,” ujarnya.
Yus menambahkan jika saja benar DPRD selalu mengkritisi berbagai program pemerintah kota bogor yang sudah mendapatkan persetujuan kelembagaan legislatif, bahkan dalam penganggaran pun sudah disetujui DPRD Kota Bogor, Ia menilai jika mengkritisinya dalam hal teknis implementasi, seperti pelaksana program atau proyek yang bermasalah, atau manajemen program yang berpotensi mendatangkan masalah, atau mungkin berpotensi penyalahgunaan dan kebocoran anggaran, disitulah memang peran pengawasan kelembagaan legislatif kota bogor.
“Namun jika kritik tersebut berpotensi menggagalkan program atau proyek yang sudah disetujui bersama, ini yang bermasalah. Sehingga perlu ada penegasan, wilayah mana yang selalu mendapatkan kritik dari kelembagaan legislatif terhadap program pemerintah Kota Bogor,” ujarnya.
Meski demikian Lanjut Yus, wilayah dan ranah manapun yang menjadi objek kritik, Ia melihatnya ada beberapa faktor.
“Pertama lemahnya komunikasi politik. Sering saya katakan, karena bima walikota yang bukan berasal dan berproses dari kekuatan politik di tingkat Kota Bogor, sehingga ikatan emosional relasi politik terkadang tidak optimal,” ujarnya.
Sehingga menurut Yus terkesan ada jarak yang cukup besar antara kepala pemerintah kota dengan lembaga legislatif Kota Bogor.
“Termasuk dalam konteks basis kepartaian. Jika komunikasi Bima Arya sebagai wali kota dan kader PAN berjalan di internal fraksi FAN DPRD Kota Bogor, seharusnya kritis setajam apapun bisa dijembatani. Namun nampaknya reaksi Bima Arya juga tidak terlalu kuat dengan fraksi FAN yang mengusungnya sebagai walikota. Kedua, faktor politis,” ujarnya.
Walaupun, menurunya Ia tidak tahu persis bagaimana relasi politik Bima Arya dengan anggota legislatif kota, namun sangat mungkin adanya gesekan politik sehingga menghambat saluran komunikasi.
“Misalnya kekecewaan anggota legislatif atas langkah-langkah walikota selama ini, atau faktor politis lainnya,” katanya.