Rekam24.com – Wacana atau isu munculnya kembali dwifungsi ABRI (TNI) kian hangat di tengah pembahasan RUU TNI di DPR RI.
Silang pendapat mengenai hal tersebut mengemuka dan ditanggapi oleh berbagai pihak, salah satunya adalah mantan aktivis 98, Kuldip Singh.
Kepada awak media, Minggu (16/3/2025), pria yang akrab disapa Diva ini menyatakan, RUU TNI yang kini tengah dibahas DPR RI tidak akan berujung pada kembalinya dwifungsi TNI.
Menurutnya, jika kita mengartikan dwifungsi TNI sebagai kembalinya militer ke ranah politik seperti era orde baru, maka hal itu tidak akan terjadi.
Sebab, lanjut Diva, kondisi riil politik saat ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru, dimana dahulu militer memang diberikan kesempatan terbuka masuk ke parlemen, bahkan tanpa pemilihan layaknya anggota DPR lainnya.
“Saat ini, prajurit aktif hanya akan ditempatkan di jabatan yang membutuhkan keahlian khusus, bukan untuk fungsi politik,” ujar Diva.
Ia juga menegaskan, RUU TNI yang kini tengah dibahas oleh DPR RI tidak akan menjadi pintu masuk kembalinya dwifungsi TNI.
“Gak akan ke arah itu, TNI tidak akan masuk lagi dengan fungsi politik seperti di Orde Baru,” sambungnya.
Hal lain yang mencuat di tengah pembahasan RUU TNI adalah terbukanya peluang anggota TNI aktif untuk duduk di kementerian atau lembaga negara tertentu.
Sejumlah pihak menilai hal tersebut sebagai wujud kembalinya dwifungsi ABRI atau TNI.
Namun lagi-lagi Diva menyanggah. Menurutnya, masuknya anggota TNI ke kementerian atau lembaga negara tidak menjadi masalah, selama tujuannya adalah untuk pembenahan.
Ia mencontohkan Dirut Perum Bulog yang kini dijabat oleh kalangan militer, yakni Mayjen Novi Helmy.
Menurut Sekjen Pijar Indonesia 1998 ini, keputusan menempatkan militer aktif di Bulog adalah langkah tepat.
Sebab dibutuhkan kepemimpinan yang tegas dan kredibel agar Bulog bisa menghadapi mafia-mafia yang selama ini menggerogoti lembaga tersebut.
“Saya melihatnya positif ya, Presiden ingin memfungsikan (TNI) dengan segala daya upaya utk mengatasi korupsi,” ungkapnya.
Namun ia menekankan, keberadaan prajurit militer di kementerian atau lembaga negara sifatnya harus sementara, bukan permanen, dan fungsinya hanya untuk pembenahan.
Selain itu, Diva juga menjelaskan, dalam kondisi-kondisi tertentu, kementerian atau lembaga negara memang membutuhkan kompetensi militer.
“Misalnya di bidang pertahanan, intelijen, atau penanggulangan bencana dan ketahanan pangan,” ungkapnya.
Meski begitu, Diva mengingatkan agar professionalitas dan peran TNI dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara harus makin ditingkatkan, utamanya di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terpencil.
Ia juga menekankan pada perlunya aturan yang ketat terkait mekanisme penempatan prajurit di Kementerian atau lembaga negara.
“Mekanisme penempatan prajurit aktif diatur dengan jelas, terbatas, dan hanya dalam keadaan mendesak, maka ini lebih ke arah optimalisasi sumber daya, bukan kembalinya dwifungsi,” pungkasnya.