Rekam24.com, Bogor – Berkurangnya luas hutan di Indonesia, yang tercatat mencapai rata-rata 2,54 juta hektare per tahun antara 2017 hingga 2021, menjadi ancaman nyata bagi lingkungan hidup. Kondisi ini mengarah pada krisis iklim yang semakin mendalam. Keadaan yang memprihatinkan ini menggambarkan pentingnya kelestarian hutan bagi kesejahteraan manusia, dengan hutan tidak hanya sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai penyerap karbon yang berperan menjaga kualitas udara dan keseimbangan ekosistem.
Menurut Kader HMI Cabang Bogor, Taufiq Salim, kondisi hutan Indonesia yang mengalami kerusakan parah perlu perhatian serius. “Hutan memiliki fungsi yang sangat krusial, baik dalam menjaga keseimbangan ekologis maupun sebagai penopang ekonomi masyarakat,” ujarnya. “Namun, kenyataan yang terjadi adalah deforestasi yang terus meningkat, seperti yang terlihat di Kalimantan dan Papua, yang paling terdampak.”
Salah satu proyek pemerintah yang kini menjadi sorotan adalah pengembangan Food Estate di Papua. Proyek ini bertujuan meningkatkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan lahan yang sebagian besar merupakan kawasan hutan. Dengan luas sekitar 2,68 juta hektare, proyek ini diprediksi akan memicu deforestasi yang lebih luas, mengancam keanekaragaman hayati, dan merusak ekosistem lokal.
Baca Juga : Soekarno Disebut Punya 57 Ton Emas, Ini Faktanya
“Program Food Estate di Papua dapat memperburuk kerusakan hutan, yang saat ini telah mengalami deforestasi sekitar 556 ribu hektare per tahun. Hal ini berpotensi meningkatkan ketimpangan sosial dan mengancam keberlanjutan lingkungan,” tambah Taufiq.
Masyarakat adat Papua menentang proyek ini karena dianggap akan merampas hak atas tanah mereka serta mengancam mata pencaharian yang bergantung pada hutan. Proyek ini dinilai lebih menguntungkan pihak investor daripada masyarakat lokal, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Menurut Taufiq, keamanan dan kenyamanan hidup adalah hak setiap manusia, termasuk masyarakat adat. Pembangunan yang mengabaikan hak-hak ini hanya akan merugikan banyak pihak, terutama bagi masyarakat yang bergantung pada hutan untuk hidup mereka.
Baca Juga: Empat Pemain Grade Eropa Diprediksi Perkuat Timnas Indonesia
Konsep Food Estate sendiri, yang berfokus pada pertanian dan perkebunan dalam skala besar, tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat adat Papua. Kebijakan tersebut justru menambah ketidakadilan sosial, di mana masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut sulit memperoleh mata pencaharian dan ruang hidup yang semakin sempit.
Pada saat yang sama, Indonesia tengah menghadapi ketimpangan sosial yang cukup signifikan, terutama di kawasan Timur Indonesia, termasuk Papua. Data mencatatkan bahwa Papua dan Maluku memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, mencapai 19,39%, sementara Kalimantan yang terlibat dalam proyek Ibu Kota Negara (IKN) tercatat memiliki kemiskinan terendah, yaitu 5,44%. Pembangunan IKN yang difokuskan di Kalimantan Timur justru bertentangan dengan tujuan untuk meratakan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Taufiq menambahkan, “Pemerataan wilayah yang digagas pemerintah, termasuk dengan pemindahan ibu kota, seharusnya bukan hanya fokus di Kalimantan. Pembangunan di wilayah lain yang lebih membutuhkan perhatian, seperti Papua, harus diperhatikan agar bisa menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”
Dengan dana yang terbatas, dana pembangunan IKN dinilai tidak akan cukup untuk pemerataan infrastruktur di seluruh Indonesia. Alih-alih mengurangi ketimpangan, kebijakan ini justru berpotensi memperburuk ketimpangan yang ada.
Dalam konteks ini, Taufiq mengingatkan bahwa keadilan sosial harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan pembangunan di Indonesia. “Keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus berjalan beriringan. Negara harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan sekadar memenuhi kepentingan kapitalis yang hanya menguntungkan segelintir orang.”
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi semua pihak untuk berpikir jangka panjang dan memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak merusak lingkungan atau mengabaikan hak-hak masyarakat yang bergantung pada alam. Keseimbangan antara pengelolaan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat adalah kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.