Rekam24.com, Bogor – Kasus yang mencuat di Kota Bogor, yang melibatkan oknum Komisioner KPU dan salah satu pasangan calon (paslon) Walikota Bogor, kini menjadi sorotan publik. Dugaan suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh salah satu calon melalui istri mereka terhadap penyelenggara pemilu di Kota Bogor menjadi perhatian serius di tengah dinamika demokrasi di daerah tersebut.
Kasus ini bermula dari informasi yang menyebutkan bahwa seorang pasangan calon, melalui pihak keluarganya, diduga memberikan sejumlah uang kepada oknum Komisioner KPU Kota Bogor. Praktik ini diduga bertujuan untuk memengaruhi pelaksanaan pemilu dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Terkait hal tersebut, pengamat hukum dan praktisi hukum, Rd. Anggi Triana Ismail, memberikan pandangannya mengenai sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada Komisioner KPU yang terlibat dalam dugaan suap ini.
Baca Juga : Kongres Tahunan PSSI Askab Bogor 2024 Tetapkan Piala Bupati Bogor 2025 Jadi Ajang Bergengsi Antar Kecamatan
“Apa sanksi hukum jika Komisioner KPU diduga menerima uang dari salah satu Paslon dalam pemilu?”
Menurut Anggi, hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana suap.
“Berdasarkan Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Tindakan yang bertentangan dengan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu jelas tidak dibenarkan. Dalam hal ini, penerimaan uang dari pasangan calon yang dapat memengaruhi hasil pemilu menjadi masalah serius,” ucap Anggi
Lebih lanjut, Adv. Anggi menjelaskan bahwa perbuatan menerima uang atau gratifikasi dari pihak yang berkepentingan dalam pemilu dapat dikenai hukuman sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Suap Nomor 11 Tahun 1980, yang menyebutkan bahwa pemberian atau penerimaan suap yang bertujuan untuk memengaruhi keputusan dalam pelaksanaan tugas berhubungan dengan kewenangan atau kewajiban yang menyangkut kepentingan umum, dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun serta denda maksimal Rp15 juta.
Selain itu, pemberian gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur bahwa gratifikasi yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban penyelenggara negara bisa dianggap sebagai suap, terutama jika nilainya lebih dari Rp10 juta.
“Kasus ini bisa menampar demokrasi di Kota Bogor,” tegas Anggi.
Menurutnya, jika dugaan ini terbukti, maka oknum KPU Kota Bogor dan pihak yang memberikan uang tersebut bisa dijerat dengan hukuman penjara yang cukup berat. Praktik seperti ini, di mana penyelenggara pemilu terlibat dalam permainan politik kotor, merusak integritas demokrasi dan mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga pemilu.
Baca Juga : Dedi Sumarna Bangga PSB U-17 Petik Tiga Poin Penuh Usai Cukur NTB U-17
Adv. Anggi juga menekankan bahwa, meski tidak ada pengaduan dari masyarakat, pihak Aparat Penegak Hukum (APH)—baik Kepolisian maupun Kejaksaan—dapat bertindak proaktif untuk menyelidiki dan menindaklanjuti temuan ini.
“Kasus ini harus ditangani secara serius oleh APH tanpa menunggu desakan dari publik,” tambahnya.
Karena dugaan suap terjadi di fase awal pemilu dan uang yang diterima oknum KPU diduga langsung masuk ke rekening mereka, tindakan ini jelas melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana. Adv. Anggi juga mengingatkan agar kasus ini tidak hanya dipandang sebagai masalah etika yang seharusnya diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bogor atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Ini adalah masalah hukum yang harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum,” pungkasnya.