Rekam24.com, Bekasi– Perkembangan teknologi telah membawa perubahan dalam berbagai aspek dalam kehidupan, termasuk dalam bidang kesehatan. Berbagai kemudahan telah ditawarkan oleh adanya digitalisasi dalam bidang kesehatan.
Namun, apakah digitalisasi dalam bidang kesehatan merupakan pilihan yang terbaik khususnya dalam mencapai pelayanan kesehatan yang holistik? Saat ini kita tengah berada di dalam era Society 5.0 yang pada praktiknya masyarakat telah berevolusi menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup dan menyelesaikan masalah sosial yang terjadi.
Kemajuan teknologi yang berkembang sangat cepat membuat banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, tidak terlepas dalam bidang kesehatan.
Contoh transformasi digital dalam bidang kesehatan adalah telemedicine, big data, hingga kecerdasan buatan (AI).
Adaptasi menuju digitalisasi juga dipengaruhi oleh Pandemi COVID-19 yang terjadi pada tahun 2020. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat kenaikan penggunaan aplikasi telekonferensi sebanyak 443% sejak pandemi.
Untuk telemedicine sendiri memiliki manfaat pada promosi kesehatan yang menyediakan fasilitas bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan dengan pasien itu sendiri untuk mencari informasi kesehatan, pemantauan, hingga konsultasi dalam jarak jauh.
Hal ini sangat membantu, khususnya ketika terjadi Pandemi COVID-19 yang membuat masyarakat harus membatasi mobilitas dalam kegiatan sehari-hari untuk mencegah penularan virus corona.
Telemedicine memungkinkan dokter untuk berkomunikasi jarak jauh dengan pasien sehingga proses pelayanan kesehatan dapat berjalan fleksibel khususnya dalam menyesuaikan waktu dan tempat.
Pasien dapat mengirimkan foto, dokumen, atau video untuk menyampaikan keluhan yang dialami. Komunikasi yang dilakukan pun tetap dapat terlaksana secara interaktif melalui live chat atau video call.
Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri telemedicine telah banyak diterapkan oleh rumah sakit, puskesmas, dan lembaga pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia.
Selanjutnya adalah mengenai kecerdasan buatan (AI) dalam bidang kesehatan. Teknologi ini dapat membuat keputusan dengan cara menganalisis dan menggunakan data yang tersedia di dalam sistem.
Penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam bidang kesehatan, yaitu untuk manajemen pelayanan kesehatan, data pasien, dan pengambilan keputusan klinik, dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
Sistem pakar dan jaringan saraf tiruan adalah contoh lainnya dari kecerdasan buatan yang telah diterapkan dala bidang kesehatan.
Sistem pakar dimanfaatkan untuk memberikan saran dan diagnosis berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, sementara jaringan syaraf tiruan digunakan untuk mengidentifikasi objek, mengenali pola penyakit melalui citra medis, melakukan klasifikasi, serta prediksi kondisi kesehatan pasien.
Setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam era Society 5.0 pasti membawa dampak, baik itu dampak positif maupun juga dampak negatif.
Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang kesehatan memiliki tujuan untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih efisien, efektif, dan inklusif untuk masyarakat luas. Dibalik manfaat yang diberikan oleh transformasi digital dalam dunia kesehatan, terdapat pula hal-hal yang menjadi tantangan dan evaluasi bagi penerapan teknologi tersebut.
Beberapa tantangan tersebut adalah dari aspek keamanan data, kesetaraan akses, kesiapan tenaga medis, risiko diagnosis, hingga aspek moral dan psikologis antara interaksi dokter dengan pasien.
Dimulai dari masalah keamanan dan privasi data kesehatan. Data medis bersifat sensitif karena menyangkut riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga pengobatan pasien yang harus dijaga kerahasiaannya.
Dengan semakin banyaknya data yang disimpan secara digital, risiko pencurian dan penyalahgunaan data semakin meningkat, seperti serangan siber dan peretasan yang dapat mengancam kenyamanan dan keamanan pasien serta merusak integrasi sistem kesehatan.
Kemudahan dalam era digitalisasi ini pun belum dapat dirasakan oleh semua masyarakat, baik itu karena faktor ketidakmerataan fasilitas maupun juga keterbatasan dalam keterampilan digital.
Kelompok rentan seperti lansia, orang dengan disabilitas, atau masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dapat mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan digital sehingga terjadi ketidaksetaraan dalam pelayanan kesehatan.
Selain itu, transformasi digital bisa menjadi tidak efektif atau bahkan menyebabkan kesalahan dalam pemberian penanganan atau perawatan kepada pasien apabila tenaga medis belum terbiasa untuk menggunakan teknologi tersebut.
Diperlukan pelatihan khusus bagi tenaga medis untuk mengoperasikan sistem baru dengan tepat. Meskipun teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dapat membantu dokter dalam mendiagnosis suatu penyakit, dapat terjadi potensi kesalahan dalam diagnosis otomatis, terutama apabila algoritma tidak diperbarui dengan data yang akurat atau data yang digunakan untuk melatih model kecerdasan buatan (AI) tidak lengkap atau bias. Tentu untuk hal ini, para dokter harus bisa mengambil sikap dengan bijaksana.
Para dokter harus tetap bisa mendiagnosis penyakit secara mandiri, tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan buatan (AI).
Tidak semua kasus medis yang ditemukan mudah untuk dianalisis dalam pola yang dikenal oleh kecerdasan buatan (AI).
Dalam kasus yang kompleks atau langka, dokter tetap harus menggunakan kemampuan berpikir kritis serta pengalamannya dalam menangani pasien.
Terakhir yang terpenting adalah dari aspek emosional dan psikologis antara interaksi dokter dengan pasien. Walaupun konsultasi secara interaktif dapat dilakukan dalam jarak jauh, tetapi beberapa kondisi medis memerlukan pemeriksaan fisik langsung yang tidak dapat digantikan oleh teknologi.
Interaksi secara langsung antara dokter dengan pasien akan membuat proses pemeriksaan berjalan lebih maksimal.
Pertemuan tatap muka menjadi kesempatan bagi dokter untuk membangun hubungan yang baik dan akrab dengan pasien, yakni dalam mendengarkan keluhan pasien secara seksama, memberikan perhatian, dan menunjukkan bahwa dokter tersebut peduli terhadap kondisi kesehatan pasien.
Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan kontak mata dapat meningkatkan rasa kenyamanan dan kepercayaan pada pasien.
Beberapa kondisi medis, terutama yang bersifat psikologis atau emosional, seringkali juga lebih mudah dipahami melalui interaksi langsung.
Hubungan yang tercipta antara dokter dan pasien tidak semata-mata hanya bersifat medis, tetapi juga diperlukan ikatan yang lebih dalam dari segi psikologis dan emosional sehingga memungkinkan dokter untuk mengetahui informasi dan data lebih dalam mengenai latar belakang, pola hidup, dan faktor sosial lainnya yang memengaruhi kesehatan pasien.
Ketika pasien merasa nyaman dengan dokter yang menanganinya, mereka akan cenderung lebih terbuka mengenai gejala fisik, kondisi mental, hingga masalah pribadi yang dapat memengaruhi kesehatan mereka.
Proses pendekatan yang dilakukan oleh seorang dokter untuk mempromosikan kesehatan bisa disesuaikan dengan karakter dari masing-masing pasien.
Dukungan emosional yang diberikan langsung oleh dokter akan membantu pasien tetap optimis dan bersemangat untuk pulih dari keluhan atau penyakit yang dialami.
Kecerdasan buatan (AI) memang pada dasarnya bisa membantu dokter untuk menganalisis data medis, membantu diagnosis, hingga merancang rencana perawatan.
Akan tetapi, aspek emosional dan psikologis tidak dapat dipenuhi hanya dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI).
Interaksi secara langsung antara dokter dan pasien sangat penting untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang holistik.
Dengan demikian, hubungan yang didasari oleh rasa empati, komunikasi yang baik, dan dukungan emosional dapat mengurangi kecemasan, mempercepat pemulihan, dan meningkatkan kualitas kesehatan dari pasien itu sendiri.
Nama penulisnya : Adel Demisa Kana, Mahasiswi S1 Kedokteran Universitas Airlangga