Rekam24.com, Bogor – Bukan sekadar tempat ngopi, Coffee ART.I hadir sebagai ruang bertukar ide, tempat berjejaring, hingga wadah perlawanan kultural.
Gaya arsitektur dan menu yang diusung bukan hanya estetika dan cita rasa, tapi juga menyimpan pesan, semangat, dan nilai sosial.
“Dari segi tempat, kita pakainya konsep raw brutalism, industrial banget. Orang Sunda bilangnya BCA – Bangunan Can Anggeus,” ujar Ruben Bentiyan, barista Coffee ART.I.
Baca Juga : Cafe Applejacks Bogor Didatangi Aktivis Islam Gara-Gara Jual Miras
“Tapi dalam arsitektur disebutnya ekobrutalism, karena kita gabungin bangunan industrial yang belum selesai itu dengan tanaman-tanaman alami,” sambungnya.
Ruben menjelaskan bahwa keusangan pada bangunan seperti retakan dan lumut dibiarkan sebagai bentuk penerimaan terhadap proses waktu.
“Selama masih aman untuk pelanggan dan tim, kita nggak akan renovasi. Renov hanya dilakukan kalau ada titik yang membahayakan,” tegasnya.
Baca Juga : Kisah Perempuan Penjual Kopi Jinjing di Hari Perempuan Sedunia, Berjuang Cari Nafkah Dan Sekolahkan Anak
Di balik tembok-tembok berlumut itu, Coffee ART.I menyajikan kopi spesialti dengan konsep transparansi.
“Bukan cuma kopi enak, tapi kopi yang transparan. Kita tahu siapa petaninya, siapa yang proses pasca panennya, siapa yang roasting, dan yang nyeduhnya, ya barista di sini,” jelas Ruben.
Ia menyebut kopi-kopi dari Puntang, Kerinci, Gayo, hingga Cibulau sebagai andalan, lengkap dengan nama-nama petaninya seperti Pak Yon dan Pak Jum.
Spirit keberbedaan itulah yang membedakan Coffee ART.I dari kedai lainnya. “Kami percaya bahwa kedai kopi itu tempat bertukar pikiran. Pikiran bisa jadi semangat, jadi motor gerakan. Dulu revolusi Perancis dimulai dari kedai kopi, bukan dari istana atau barak militer,” kata Ruben. “Makanya kami bikin program MBG – Membaca Buku Gratis – supaya interaksi intelektual tetap hidup.”
Meski terkesan “idealis”, Coffee ART.I tetap membumi. Rentang harga kopinya dimulai dari Rp20.000 hingga Rp50.000. Ada juga kopi-kopi langka berharga Rp120.000 per cangkir, seperti Cup of Excellence yang per 50 kg-nya bisa tembus Rp48 juta. “Kita sediakan juga buat mereka yang punya obsesi tinggi sama kopi,” ujarnya.
Target utama Coffee ART.I adalah anak muda, tapi justru pekerja, pegiat seni, peneliti NGO dan LSM yang sering terlihat di sana. “Mungkin karena wifi-nya kencang dan baristanya bisa diajak ngobrol,” kata Ruben berseloroh.
Soal menu, Ruben merekomendasikan “Bayliss” untuk non-kopi, dan “Bro” – es kopi susu gula aren – untuk penikmat kopi manis. Menariknya, gula aren diambil langsung dari Kasepuhan Cisungsang, Banten, melalui kerja sama dengan BUMDes setempat.
Yang paling mencolok adalah menu “Palestino”, versi lain dari Americano yang hadir sebagai simbol solidaritas. “Palestino itu gerakan secangkir keberpihakan. Dari harga Rp26.000 per cangkir, seluruh keuntungan disumbangkan ke Palestina lewat Action Humanity, sebuah NGO yang bantu penyaluran bantuan untuk korban konflik di Timur Tengah,” jelas Ruben. Donasi dikirim rutin setiap Jumat pertama di awal bulan.
Coffee ART.I sendiri sudah eksis sejak 2020, bertahan melewati gelombang pandemi dan persaingan ketat dunia perkopian. Buka dari pukul 07.00 pagi hingga 22.00 malam, kedai ini tak hanya menyajikan kopi, tapi juga menyeduh kesadaran dan keberpihakan dalam tiap cangkirnya.